JAKARTA, MP - Rumah kontrakan di Jembatan Lima, Jakbar, itu hanya berukuran 3 meter x 3 meter. Sebuah lemari plastik bediri di sudut. Di sebeahnya gundukan pakaian.
Di sudut lain, seorang bocah lima tahun tergeletak di busa kasur tipis. Tubuhnya sangat kurus. Nyaris tinggal tulang berbalut kulit pucat.
Di sebelah anak itu, duduk Anita. Remaja 13 tahun ini telaten menyuapi AM, bocah kurus, itu. Sesuap demi sesuap bubur ayam berlauk kerupuk dan kecap itu masuk ke bibir kering AM yang susah payah menelan. Sesekali, makannya terganggu karena bocah itu terbatuk-batuk. Tiba-tiba AM berseru, “ya Allah..tolong saya..”
Kontan, Anita melepas piringnya. Penuh kasih dipeluknya tubuh kurus sang adik. Tangan kecilnya mengusap-usap kepala AM sambil bergumam menenangkan.
Kakak beradik itu kini yatim piatu. Ibu mereka, Ma, 30, meninggal sebulan lalu. Sedangkan sang ayah AR, 34, meninggal November 2006. “Mereka meninggal akibat AIDS,” ungkap Sarman, kakak Ma, Jumat (15/1) siang. “Sekarang AM juga terjangkit HIV/AIDS. Itu hasil pemeriksaan di RSUD Tarakan.”
Menurutnya, riwayat penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh itu diketahui setelah Ma meninggal. Dokter di RS Tarakan yang merawat menyebut ibu tiga anak itu meninggal karena AIDS. Penyakit itu didapat dari suaminya.
Tak Bisa Jalan
AM, sambungnya, dibawa ke rumah sakit itu karena keluarga mengiranya sakit TBC karena terus batuk. Selain itu, tubuhnya yang kurus membuat keluarga mengira ia menderita gizi buruk.
“Kami bingung. Penyakit itu sangat berbahaya sedang kami orang kecil yang nggak punya uang,” ungkap kuli angkut di Jembatan Lima ini. “Saya ingin AM sehat. Saya ingin keponakan saya itu bisa diselamatkan karena sebenarnya dia anak yang pintar.”
Menurutnya, berat badan AM menurun drastis sebulan terakhir. Kini, anak itu hanya memiliki bobot 9 Kg padahal anak sehat lain seusianya beratnya sekitar 18 Kg. “Saking kurusnya AM nggak bisa jalan. Kemana-mana harus dibopong,” ungkapnya.
Mengikuti sang ibu, AM semula berobat ke RSUD Tarakan. Tanpa Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), Sarman mengeluarkan biaya untuk berobat. Namun, setelah surat itu ada di tangan, AM bebas biaya berobat di rumah sakit itu. Namun, belakangan dokter setempat merujuknya ke RSCM.
Di rumah sakit itu pun ia kembali mengeluarkan uang. Setelah menunjukkan SKTM, ia bebas biaya. Hanya saja, “jauh dari rumah. Habis ongkos kami di jalan,” katanya. “Sehari saya cuma dapat Rp 30.000. Habis untuk makan sehari-hari sekeluarga. Saya berharap Am bisa dirawat di RSUD Tarakan supaya kami bisa tetap merawat tapi juga bisa bekerja.”
Sebelumnya , bayi dua tahun, SR, dibebaskan dari biaya perawatan di RS Fatmawati. Di rumah sakit itu, anak itu dirawat bersama ibunya, SD. Keduanya dinyatakan terjangkit virus HIV/AIDS. (red/*pk)
Sabtu, 16 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar